PENDAHULUAN
Dalam sejarah pembaharuan Islam Muhammad Abduh adalah salah seorang
pemimpin yang penting. Pemikirannya meninggalkan pengaruh, tidak hanya di tanah
airnya Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam
lain, termasuk Indonesia di Asia Tenggara. (Harun Nasution, 1987: 1)
Dalam masa hidupnya, Muhammad Abduh telah menulis beberapa bukum yang
termasyhur diantaranya adalah Risalah Al-Tawhid. Risalah Al-Tawhid sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh B. Michel dan Mustafa Abd Al-Raziq
dan ke dalam bahasa Inggris oleh Ishaq dan Kenneth. (Harun Nasution, 1987:
2)
Menurut Adams, ajaran-ajaran teologi Muhammad Abduh termasuk dalam
teologi Ahlussunah. Dan pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan teologi yang
pada umumnya diterima. Dalam pendapat Horten, Muhammad Abduh dalam banyak hal
mengikuti ahlussunah secara ekstrim. Macdonald berpendapat bahwa Muhammad Abduh
menampakkan diri sebagai Maturidi, tanpa menyebut-nyebut nama Al-Maturidi.
Hourani melihat teologi Muhammad Abduh mempunyai corak ekletik yang di dalamnya
terdapat pengaruh Ahlussunah, terutama Al-Ghazali dan Al-Maturidi, serta
pengaruh Mu’tazilah. Michel dan Abd Al-Raziq dalam hal sifat-sifat Tuhan
menilai Muhammad Abduh sebagai pengikut Asy’ari dan dalam hal pempelaannya yang
kuat terhadap kebebasan memberi kritik, sebagai seorang Mu’tazilah modern.
Jomier melihat adanya pendapat-pendapat Mu’tazilah dalam pemikiran Muhammad
Abduh. Usman Amin, Gardet dan Anawati, Caspar, dan Kerr sependapat bahwa
kebahagiaan pemikiran Muhammad Abduh bercorak Mu’tazilah. Sulaiman Dunia dari
Universitas Al-Azhar dengan berpegang pada buku Muhammad Abduh Hashiah ala
Sharh Al-Dawwani lingkungan Al-Aqaid Al-Adudiah, yang kurang mendapat perhatian
dari pengarang-pengarang lain, menilai pemuka pembaharuan Mesir ini lebih
tinggi dalam memberi kedudukan kepada akal daripada kaum Mu’tazilah. (Harun
Nasution, 1987: 3-4)
Timbul pertanyaan, betulkah ia masuk Ahlussunnah Asy’ari atau Ahlusunnah
Maturidi ? dan karena di antara pendapat-pendapatnya ada yang sejalan dengan paham-paham
Mu’tazilah, betulkah teologinya bercorak
Mu’tazilah ? Atau, karena ia dikatakan mengeluarkan pendapat-pendapat
Ahlusunnah di samping penapat-pendapat Mu’tazilah, apakah teologinya mempunyai
corak yang berdiri sendiri, berbeda dari teologi Ahlusunnah dan dari teologi
Mu’tazilah?. (Harun Nasution, 1987: 4)
kalau teologinya adalah teologi Asy’ari atau Maturidi, maka pemikiran
pembaharuannya akan banyak dipengaruhi
oleh kecenderungan kedua aliran ini untuk mengambil arti harfiah dari
teks Al-Qur’an dan hadis dan oleh paham Kasb Asy-ari serta paham fi’l Bazdawi
yang dekat menyerupai paham jabariah. Teologi Muhammad Abduh akan bercorak
tradisional. Dalam teologi yang demikian manusia lebih banyak bersifat pasif,
yang tidak sejalan dengan dinamika yang diperlukan pembaharuan dan perubahan
dari yang lama kepada yang baru. (Harun Nasution, 1987: 4)
Kalau teologinya adalah teologi Mu’tazilah, pemikiran pembaharuannya akan
mempunyai ruang gerak yang lebih luas di bawah sikap rasional dan paham
kebebasan manusia dalam batas-batas tertentu, yang dalam istilah Arab dikenal dengan
nama qadariah. Pemikiran-pemikiran pembaharuannya, dengan demikian, akan
bercoarak dinamis dan akan mempunyai arti bagi kemajuan umat Islam di zaman
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (Harun Nasution, 1987: 5)
Untuk mengetahui corak sebenarnya dari teologi Muhammad Abduh tidak bisa
berpegang hanya pada Risalah Al-Tawhid. Tetapi didalam buku “Hasyiah ala Sharh
Al-Dawwani li Al-Aqaid Al-Adudiah”, yang ia karang di tahun 1876, ia memasuki
pertentangan-pertentangan itu dengan mengunjukkan pendapat dan sikapnya. Kalau
dalam Risalah ia bersikap netral, di dalam Hasyiah ia memihak. Buku ini akan
banyak membantu usaha untuk mengetahui corak teologi Muhammad Muhammad Abduh
yang sebenarnya. Antara Risalah dan Hasyiah tidak terdapat pertentangan. Dalam
buku-buku di ataslah, di samping karangan-karangannya yang lain, akan dicoba
meneliti dan mengungkapkan teologi Muhammad Abduh yang sebenarnya. (Harun Nasution, 1987: 5-6)
1. Riwayat Hidup
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1265 H yang pertepatan dengan tahun 1849
M di salah satu desa di daerah ini. Setelah keadaan politik agak tenang, abduh
Khairullah kembali ke Mahallat Nasr, kampung halamannya semula. Di sinilah
Muhammad Abduh berkembang menjadi anak remaja. (Harun Nasution, 1987: 11)
Menulis dan membaca ia pelajari di rumah. Kemudian ia menghafal Al-Qur’an
di bawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab suci itu. Dalam masa dua tahun
ia telah hafal Al-Qur’an. Pada tahun 1279 H (1863 M) ia dikirim orang tuanya ke
Tanta untuk meluruskan bacaannya di Mesjid Al-Ahmadi. Dua tahun kemudian ia
mulai mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di mesjid itu, tetapi karena
metode pengajaran yang salah, setelah satu setengah tahun belajar, Muhammad
Abduh masih belum mengerti apa-apa. Guru-guru memberikan term-term tata bahasa
Arab dan hukum fikih untuk dihafal tanpa menjelaskan arti dari term-term itu. (Harun Nasution, 1987: 11)
Karena tidak puas ia meninggalkan Tanta dan kembali ke Mahallat Nasr dengan
niat tidak akan kembali lagi belajar. Ia pun kawin pada tahun 1282 H (1866 M).
tetapi empat puluh hari setelah perkawinannya, ia dipaksa orang tuanya kembali
ke Tanta. Dalam perjalanan ke kota itu ia lari dari desa Kanisah Urin, tempat
tinggal dari kaum kerabat dari pihak ayahnya. Salah satu dari mereka adalah
syekh Darwisy Khadr. (Harun
Nasution, 1987: 11)
Syekh Darwisylah yang selalu mendorong Muhammad Abduh untuk kembali
membaca buku, sungguhpun ia enggan. Tetai berkat kesabaran dan kebijaksanaan Syeikh
Darwisy, akhirnya ia mau juga membaca. Atas penjelasan–penjelasan yang
diberikan kerabatnya itu, ia akhirnya mengerti apa yang ia baca dan mulailah ia
tertarik membaca dengan sendiri, jika ada term-term yang tidak dipahaminya ia
tanyakan kepada Syeikh Darwisy. Di antara buku-buku yang menarik perhatiannya
di ketika ia adalah buku-buku tasawuf. (Harun Nasution, 1987: 11-12)
Setelah mengalami perubahan mental terhadap pelajaran, pada tahun 1282 H
(1866 M) ia kembali ke Mesjid Al-Ahmadi di Tanta. Ia telah mengerti yang
diberikan guru dan apa yang dibacanya sendiri. Dan apa yang dipahaminya itu ia
sampaikan kepada teman-temannya sepelajaran, sehingga ia akhirnya menjadi
tempat mereka bertanya. Beberapa bulan kemudian ia pergi ke Cairo untuk
meneruskan pelajaran di Al-Azhar. (Harun Nasution, 1987: 12)
Metode yang dipakai di sana, sama dengan yang di Mesjid Al-Ahmadi di
Tanta, masih tetap metode menghafal. Kurikulum yang diberikan hanya mencakup
ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Demikianlah Al-Azhar yang dilihat
Muhammad Abduh, kata Ahmad Amin. Al-Azhar tidak dikenal pada dunia, segala yang
berlawanan dengan kebiasaan dianggap kekafiran. Membaca buku-buku geografi,
ilmu alam atau falsafah adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah. (Harun Nasution, 1987: 12)
Tidak mengherankan kalau Muhammad Abduh mencari ilmu-ilmu yang disebut
Syeikh Dawisy di luar Al-Azhar. Ilmu-ilmu itu ia jumpai pada seorang ulama
bernama Al-Ayeikh Hasan Al-Tawil, yang tahu falsafah, logika, ilmu ukur,
soal-soal dunia dan politik. Tetapi pelajaran yang diberikan Syeikh itu kurang
memuaskan bagi Muhammad Abduh. Pelajaran yang diterimanya di Al-Azhar juga kurang
menarik perhatiannya dan ia lebih suka membaca kitab yang dipilihnya di
perpustakaan Al-Azhar. Ia tidak tetap mengikuti kuliah dan kalaupun hadir ia
membaca buku yang dibawahnya dari rumah. (Harun Nasution, 1987: 12)
Kepuasan mempelajari falsafah, matematika, teologi dan sebagainya ia
peroleh dari Jamaludin Al-Afghani yang datang ke Mesir pada penutup tahun 1286
H (1870 M). ia ajak teman-temannya turut belajar pada pemimpin pembaharuan itu
dan sebagai dijelaskan Muhammad Abduh sendiri, mereka mendapat tantangan
dari para ulama dan mahasiswa Al-Azhar. Didalam teologi yang menarik perhatian
Muhammad Abduh adalah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dan muncullah tuduhan
bahwa ia ingin menghidupkan kembali aliran ini. Atas tuduhan itu ia dipanggil
menghadap Syeikh ‘Alaisy, salah satu ulama Azhar yang menentang paham-paham
Mu'tazilah. Ketika ditanya apakah benar ia memilih aliran Mu'tazilah dan
meninggalkan aliran Asy’ariah ia menjawab, “Jika aku meninggalkan taklid kepada
Asy’ari, mengapa aku mesti taklid kepada Mu'tazilah. Aku tidak mau taklid
kepada siapa pun. Yang kuutamakan adalah argumen yang kuat. (Harun Nasution, 1987: 13-14)
Bahwa ia lebih condong ke paham-paham Mu'tazilah dari pada
pemikiran-pemikiran Asy’ari, itu kelihatannya benar. Di zaman inilah ia mengarang
bukunya “Hasyiah ‘Ala Syarh Al ‘Aqid Al-Adudiah yang mengandung komentarnya
terhadap paham-paham Al-Asy ari. Komentar itu menggambarkan pemikiran yang sama
dengan pemikiran Mu'tazilah. Karangannya itu di cetak buat pertama kali oleh
Al-Matba’ah Al-Kyariah di Cairo pada tahun 1322 H atau 1905 M. pada tahun 1958
buku itu di terbitkan kembali, dengan diberi kata pengantar oleh Syeikh
Sulaiman Dunia dari Al-Azhar, Cairo. Judulnya adalah Muhammad Abduh Baim
Al-Falasifah Wa Al-Kalamiyyin. (Harun Nasution, 1987: 14)
Pada mulanya ia bermazhab Maliki, tetapi di Al-Azhar ia mempelajari
mazhab Hanafi dan dalam ujiannya ia diuji dalam mazhab tersebut akhir ini. Ia
menghargai semua mazhab, tetapi tidak mau terikat pada salah satu daripadanya.
Mazhab menurut pendapatnya adalah jalan yang ditempuh ulama masa lampau dalam
memahami Al-Quran dan Hadis. Mengikuti mazhab ia artikan mengikuti para imam
dalam berpegang teguh pada dua sumber ajaran Islam, Al-Quran dan Hadis. Membuat
pendapat imam sesuatu yang bersifat absolute adalah bertentangan dengan ajaran
Islam. Dalam Islam ada dua macam hukum. Pertama, hukum bersifat absolut
(qat’iah) yang teksnya terdapat dalam Al-Quran dan perinciannya dijelaskan oleh
Hadis. Di dalam hal ini tidak ada ijtihad. Kedua hukum yang tidak berdasar pada
teks yang bersifat absolute (qat’iah) dan tidak pula pada konsensus ulama
(ijma). Inilah yang menjadi lapangan ijtihad. (Harun Nasution, 1987: 25-26)
2. Filsafat Wujud
Dalam usaha untuk mengetahui corak teologi Muhammad Abduh yang
sebenarnya, perlulah terlebih dahulu diketahui falsafah wujudnya. Falsafah
wujud mengungkapkan kedudukan akal dalam pemikiran seseorang. Dalam
tulisan-tulisannya Muhammad Abduh memang banyak memakai kata akal. Dan dalam
teologi akal mempunyai peranan penting. (Harun Nasution, 1987: 28)
Teologi dalam definisi Muhammad Abduh adalah ilmu yang
membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan soal kenabian. Definisi ini
sebenarnya kurang lengkap. Alam ini adalah cipataan Tuhan, dan oleh karena itu,
teologi di samping hal-hal di atas, juga membahas hubungan Tuhanda makhluk-Nya.
(Harun Nasution, 1987: 28)
Alam ini dalam pendapat Muhammad Abduh adalah alam wujud. Wujud ia bagi
ke dalam tiga kategori, wujud yang pada esensinya mesti ada (wajib lidzatih), wujud yang pada esensinya tidak
mungkin ada (mustahil lidzatih) dan wujud yang pada esensinya mungkin ada
(mumkin lidzatih). Yang pada esensinya mesti ada, ada dengan sendirinya; yang
ada esensinya tidak mungkin ada, dengan sendirinya tidak ada, dan yang pada
esensinya mungkin ada, tidak dengan sendirinya ada dan pula tidak dengan
sendirinya tidak ada. Yang dimaksud Muhammad Abduh ia bahwa untuk ada dan tidak
adanya itu diperlukan sebab.
(Harun Nasution, 1987: 28)
Wujud dalam pemikiran Muhammad Abduh tersusun dari Khalik dan makhluk,
dari pencipta dan yang diciptakan. Semua yang ada dalam wujud ini selain Tuhan
adalah makhluk –Nya. (Harun
Nasution, 1987: 28)
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah disimpulkan bahwa alam ini bagi
Muhammad Abduh adalah alam abstrak dan alam nyata. Yang terbagi dua lagi, alam
makhluk tak bernyawa dan alam makhluk hidup. Alam makhluk hidup tersusun dari
alam tumbuh-tumbuhan yang mempunyai dua hubungan dengan Tuhan, penciptaan dan
penerimaan hayat; alam hewan yang di samping penciptaan dan hayat, juga
penerima intuisi dari Tuhan, alam manusia yang di samping ketiga di atas,
menerima wahyu dari Tuhan. (Harun
Nasution, 1987: 41)
Alam manusia terdiri dari dua golongan khawas dan awam. Sungguhpun kedua
golongan ini diberi Tuhan akal, hanya akal kaum khawaslah yang dapat memperoleh
pengetahuan tentang Tuhan dan alam abstrak. Oleh karena itu, di antara semua
makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia sendiri, hanya kaum khawas
sajalah yang memiliki hubungan dua arah dengan Tuhan, akal membentuk hubungan
menaik dari alam ke Tuhan dan wahyu hubungan menurun dari Tuhan kea lam. Dengan
mempergunakan akalnya, kaum khawas sanggup memperoleh pengetahuan tentang Tuhan
dan alam abstrak. Wahyu yang di bawa para nabi memperkuat pengetahuan ini dan
di samping itu juga membawa informasi tentang hal-hal yang tak dapat dicapai
oleh kaum khawas. . (Harun
Nasution, 1987: 41)
Akal kaum awam hanya sanggup menangkap wahyu yang di turunkan Tuhan. Dan
tidak mampu untuk mengetahui alam gaib. Wahyulah yang memberi pengetahuan alam
gain. Wahyulah yang memberi pengetahuan yang diperlukan kaum awam tentang alam
gaib. . (Harun Nasution,
1987: 41)
Mati tidak berarti berakhirnya wujud manusia, karena manusia tersusun
dari unsur tubuh dan unsur jiwa. Setelah jiwa meninggalkan badan, manusia akan
terus mempunyai wujud, sungguhpun dalam bentuk lain. Wujudnya akan berlangsung
terus di dalam alam gaib. Dengan kata lain wujud manusia akan berpindah kealam
gaib, sesudah wujudnya di alam nyata ini berakhir. . (Harun Nasution, 1987: 42)
Dua kata kunci penting dalam falsafah wujud Muhammad Abduh adalah akal
dan wahyu. Akal kaum khawas berusaha mengadakan kontak intelektual dengan Tuhan
dan wahyu turun untuk memperkuat apa yang telah diketahui tentang alam gaib dan
untuk memberi informasi tentang yang tak diketahui akal tentang alam gaib itu. Kedua
kata kunci ini akan dibahas lebih
mendalam dalam kedua bab berikut. (Harun Nasution, 1987: 42)
3. Kekuatan Akal
Penjelasan yang penting dari Muhammad Abduh tentang kekuatan akal adalah
sebagai berikut :
a.
Mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya
b.
Mengetahui adanya hidup di akhirat
c.
Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa
di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang
kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat
d.
Mengetahui wajibnya manusia
mengenal Tuhan
e.
Mengetahui wajibnya manusia
berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di
akhirat
f.
Membuat hukum-hukum mengenai
kewajiban-kewajiban itu.
(Harun Nasution, 1987:
53)
Dalam gambaran di atas tidak kelihatan adanya fungsi wahyu. Akal, menurut
Muhammad Abduh, dapat mengetahui dua dasar pokok dalam agama, kewajiban
mengetahui Tuhan dan kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan
jahat. Pada dua kewajiban pokok inilah, didasarkan kewajiban-kewajiban lain
dari manusia terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat,
seperti kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kewajiban menjauhi perbuatan
yang merusak dirinya sendiri seperti meminum-minuman keras, narkotika dan
sebagainya, kewajiban menolong anggota masyarakat dengan mengeluarkan zakat dan
sebagainya. (Harun Nasution,
1987: 54)
Pembahasan kekuatan akal dalam mengetahui kedua dasar agama, Tuhan dan
kebaikan serta kejahatan tersebut di atas, sebenarnya telah dilakukan oleh
alian-aliran teologi yang timbul di zaman keemasan Islam. Kedua masalah pokok
itu dipecah menjadi empat, yaitu :
a.
Mengetahui Tuhan
b.
Mengetahui kewajiban berterima
kasih kepada Tuhan
c.
Mengetahui kebaikan dan kejahatan
d.
Mengetahui kewajiban berbuat baik
dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. (Harun Nasution, 1987: 54)
Terjadi polemik antara kaum Mu'tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah dalam
hal ini. Menurut Mu'tazilah keempat masalah pokok keagamaan itu dapat diketahui
akal. Menurut Asy’ariah yang dapat diketahui akal hanya butir satu, sedang
untuk mengetahui ketiga butir lainnya diperlukan wahyu. Kaum Maturidiah
terpecah menjadi dua, Maturridiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Dalam
pendapat Maturidiah Bukhara hanya dua butir, yaitu pertama dan ketiga yang
dapat diketahui akal, sedang kewajiban-kewajiban yang tersebut dalam butir dua
dan empat diketahi manusia hanya melalui wahyu. Maturidiah Samarkand
berpendapat hanya satu yang tak dapat diketahui akal yaitu butir empat. Untuk
itu diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui akal sebelum
turunnya wahyu. (Harun
Nasution, 1987: 55)
Dari gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keempat
masalah pokok keagamaan yang dipersoalan, kaum Mu'tazilah dan Muhammad Abduh
mempunyai persamaan Mu'tazilah dan Muhammad Abduh berpendapat bahwa dalam
keempat masalah pokok itu, wahyu tak mempunyai fungsi. Dalam paham Maturidiah
Samarkand wahyu mempunyai menjauhi perbuatan jahat. Ketiga masalah lainnya
dapat diketahui akal. Dalam paham Maturidiah Bukhara kewajiban dapat diketahui
manusia halnya melalui wahyu. Adapun pengetahuan, itu dapat diketahui akal
tanpa bantuan wahyu. Asy’ariah melihat hanya satu dari keempat masalah pokok
keagamaan itu yang dapat diketahui akal, yaitu adanya Tuhan. Kebaikan dan
kejahatan, kewajiban berterimakasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan
menjauhi perbuatan jahat, dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu.
(Harun Nasution, 1987: 55)
Dapat diambil kesimpulan bahwa dasar teologi Muhammad Abduh berbeda
sekali dengan teologi Maturidiah Samarkand dan Bukhara, apalagi dengan teologi Asy’ariah. Antara teologi dan
teologi Mu'tazilah terdapat persamaan, sama-sama memberi kekuatan yang tinggi kepada
akal dan sama-sama berpendapat bahwa wahyu tak mempunyai fungsi dalam keempat
masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan. Dalam hal itu perlu dicatat bahwa
Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal dari pada
Mu'tazilah sendiri.
(Harun Nasution, 1987: 57)
4. Fungsi Wahyu
Dalam pendapat Muhammad Abduh wahyu mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi
pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal
sesudah tubuh mati. Fungsi kedua dari wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan
sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Untuk terwujudnya hidup sosial
damai dan rukun, anggotanya mesti membina hubungan antara sesama mereka atas
dasar cinta mencintai. Tetapi sayangnya kebutuhan manusia boleh dikatakan tidak
terbatas dan dengan demikian, konflik senantiasa terdapat dalam masyarakat
manusia. Untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik maka nabi-nabi dikirim
Tuhan ke permukaan bumi. (Harun
Nasution, 1987: 59-60)
Dengan demikian wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan
keadaan hidup manusia di sana, untuk mengetahui sifat kesenangan serta
kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya di hidup kedua nanti,
untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat, dan sebagainya. Sungguhpun semua
itu sukar bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya
hal-hal itu. (Harun
Nasution, 1987: 60)
Wahyu, selanjutnya menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik manusia untuk hidup dengan
damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar
ketentraman hidup dalam masyarakat. Wahyu selanjutnya membawa syariat yang
mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata
benar, menempati janji dan sebaginya. (Harun Nasution, 1987: 60-61)
Fungsi lain dari wahyu, dalam pendapat Muhammad Abduh, adalah menguatkan
pendapat akal melalui sifat sacral dan absolute yang terdapat dalam wahyu.
Sifat sacral dan absolutlah yang membuat orang mau tunduk kepada sesuatu. (Harun Nasution, 1987: 61)
Perincian mengenai fungsi wahyu tersebut di atas banyak persamaannya
dengan pendapat Mu'tazilah mengenai hal ini. Dalam pada itu terdapat juga
beberapa perbedaan. Kalau bagi Mu'tazilah wahyu tidak mempunyai fungsi dalam mengetahui sifat-sifat
Tuhan, bagi Muhammad Abduh wahyu diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan
akal tentang sifat-sifat itu. Kalau bagi Muhammad Abduh wahyu diperlukan untuk
pengaturan kehidupan sosial manusia, Mu'tazilah tidak menyinggung hal itu. Bagi
mereka akal kelihatannya cukup kuat untuk mengatur hidup kemasyarakatan manusia
tanpa bantuan wahyu. Kalau bagi Mu'tazilah wahyu mempunyai fungsi mengingatkan
manusia kepada kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan, bagi Muhammad Abduh
fungsi mengingatkan itu adalah terhadap kebesaran Tuhan. (Harun Nasution, 1987: 62)
.
5. Paham Kebebasan
Manusia dan (Fatalisme)
Sebagai salah satu pemikir dan pemimpin penting dari pembaharuan dalam
Islam, pendapat Muhammad Abduh tentang jabariah dan qadariah ini penting untuk
diketahui. Apakah ia mempunyai paham jabariah sehingga manusia dalam
pendapatnya bersifat pasif dan menunggu takdir saja ? Ataukah ia mempunyai
paham qadariah sehingga manusia menurut keyakinannya bersifat dinamis dan aktif
dalam hidup di dunia ini ?. (Harun
Nasution, 1987: 64)
Manusia diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya
dan dua diantaranya berpikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya. Jadi
manusia selain dari mempunyai daya pikir, juga mempunyai kebebasan memilih yang
merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia. Kalau sifat
dasar ini dihilangkan dari dirinya dia bukan manusia lagi, tetapi menjadi
makhluk lain. (Harun
Nasution, 1987: 65)
Perlu di tegaskan bahwa dalam soal kebebasan kemauan serta perbuatan dan
fatalisme ini terdapat tiga hal yang saling berkaitan : perbuatan, kemauan
untuk berbuat dan daya untuk mewujudkan perbuatan itu. Pertanyaan yang timbul
adalah : Apakah ketiga hal itu terletak pada Tuhan ataukah ketiganya terletak
pada manusia, ataukah sebagian terletak pada Tuhan dan sebagian pada manusia?
Jika kemauan dan daya adalah kepunyaan Tuhan, dan ini adalah jabariah,
fatalisme. Jika kehendak dan kemauan adalah dari manusia maka perbuatan adalah
perbuatan manusia dan ini adalah qadariah, paham kebebasan dalam kemauan dan
perbuatan. Jika kemauan dan daya sama-sama dari Tuhan dan manusia, maka
perbuatan adalah perbuatan Tuhan pada hakikatnya dan perbuatan manusia dalam
arti kiasan. (Harun
Nasution, 1987: 70)
Bahwa Muhammad Abduh mengambil posisi kedua adalah jelas. Baginya kemauan,
daya dan perbuatan adalah dari manusia. Manusia, dalam pendapatnya, diciptakan
dengan mempunyai kemauan memilih dan mempunyai daya untuk mewujudkan kemauan
itu. Karena kemauan dan daya adalah berasal dari manusia, maka perbuatan pun
adalah perbuatan manusia. Agama, akal, panca indra dan intuisi, demikian ia
tulis, sepakat mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah pada hakikatnya
perbuatan manusia sendiri. (Harun
Nasution, 1987: 70)
6. Sifat-sifat Tuhan
Dalam Risalah Al-Tawhid ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah
apakah sifat itu temasuk esensi Tuhan ataukah lain dari esensi Tuhan, ia jelas
bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi
sungguhpuhn demikian ia kelihatanya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat
termasuk esensi Tuhan walaupun ia tidak dengan tegas mengatakan demikian. (Harun Nasution, 1987: 71)
Masalah itu ia bahas dalam Hasyiah ‘ala Syarh Al-Dawwawili Al-Aqa’id
Al-Adudiah. Di situ ia jelaskan bahwa sifat menurut pendapat para filosof
Islam, adalah esensi tuhan. Yang mereka maksud ialah bahwa esensi, sebagai
satu-satunya sumber dari segala yang ada, merupakan sumber dari akibat yang
timbul dari sifat. Dengan demikian, esensi dan sifat mengetahui adalah satu.
Begitu pula halnya dengan sifat berkuasa. Akibat yang timbul dari kekuasaan
ialah melakukan sesuatu. Sebaliknya kekuasaan adalah sumber dari pelaksanaan
perbuatan. Karena esensi, sebagai sumber dari segala yang ada, pada hakikatnya
adalah sumber dari pelaksanaan perbuatan, esensi dan sifat berkuasa ada pula
satu. Oleh sebab itu, esensi, ditinjau dari segi tercapainya pengetahuan
tentang sesuatu, adalah pengetahuian dan ditinjau dari segi terlaksananya
perbuatan adalah kekuasaan. Dengan demikian dapatlah disebut bahwa sifat adalah
esensi, dan ini membawa kepada pniadaan sifat dan penegasan adanya akibat saja. (Harun Nasution, 1987: 71-72)
Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa dikatakan Tuhan, tidak pula “bukan
Tuhan”, tidak pula “lain dari Tuhan,” dan tidak pula “bukan lain dari Tuhan.”
Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada artinya kecuali diberi
interprestasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah keadaan mental, dan
pada hakikatnya tidak mempunyai wujud. Dalam pengertian Muhammad Abduh,
Al-Asy’ari, berlainan dengan pengikut-pengikutnya, menerima konsep peniadaan sifat-sifat
Tuhan dan sebagai kaum Mu'tazilah, memandang sifat hanya sebagai keadaan
mental. (Harun Nasution,
1987: 73-74)
Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa Muhammad Abduh cenderung kepada
konsep peniadaan sifat Tuhan, sungguhpun dalam Risalah Al-Tawhid ia berbicara
tentang sifat-sifat Tuhan. Perlu ditegaskan bahwa di dalam Risalah ia tidak
membahas apakah sifat esensi atau lain dari esensi Tuhan dan juga tidak
membicarakan apakah sifat kekal atau tidak kekal. Dengan lain kata, di dalamnya
ia tidak menjelaskan pendapatnya tentang sifat. Dengan demikian tidaklah
terdapat pertentangan antara pendapat yang ditulisnya dalam Hasyiah dan
tulisannya tentang sifat dalam Risalah. Karena dia tidak berpegang pada
mutlaknya kehendak dan kekuasaan Tuhan, ia dapat memasukkan teori peniadaan
Tuhan dalam teologinya. (Harun
Nasution, 1987: 74)
a.
Kehendak Mutlak
Allah
Dalam pemikiran Muhammad Abduh, karena ia yakin akan kebebasan dan
kemampuan manusia, kehendak Tuhan tidak bersifat mutlak-Nya dengan memberi
manusia secara alami kebebasan dan kesanggupan, yang secara bebas dapat
dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Memberi manusia
kemauan dan daya untuk berbuat adalah salah satu sunnah Allah. (Harun Nasution, 1987: 75)
Iman dan kufur tidak mempunyai pengaruh terhadap akibat sunnah itu. Yang
dimaksud Muhammad Abduh adalah bahwa keadaan seseorang menjadi mu’min atau
kafir tidak merubah sunnah Allah itu. Kalau orang mu’min tidak mengikuti sunnah
kemenangan ia akan menghadapi kekalahan, dan sebaliknya kalau orang kafir
mengikuti sunnah tersebut ia akan memperoleh kemenangan. Sunnah itu, kata
Muhammad Abduh. Bahkan tidak mengecualikan nabi-nabi. Alam juga mengikuti
sunnah Allah. Ia menyebut sunnah untuk turunya hujan, dan sunnah mengetani daya
tarik bumi. (Harun Nasution,
1987: 76)
Hubungan antara kehendak Tuhan dengan kehendak manusia dalam pendapat
Muhammad Abduh adalah sebagai berikut : sunah sebagai ciptaan Tuhan adalah
kehendak Tuhan, dan manusia, dalam mengikuti sunnah Allah itu, pada hakikatnya
mengikuti kehendak Ilahi. Oleh karena itu berpendapat bahwa dalam melaksanakan
kebebasannya, manusia tidak menentang kehendak Tuhan; kehendak manusia
senantiasa menggambarkan satu segi dari kehendak Tuhan.(Harun Nasution, 1987: 78)
b. Keadilan Tuhan
Keadilan, dalam pendapat Muhammad Abduh, kaitannya adalah dengan hukuman
dan balasan baik, hukuman diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan
balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan
dapat mengubah derajat balasan baik terhadap perbuatan baik dengan
melipatgandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu
lawan satu. Keadilan bagi Muhammad Abduh berarti Tuhan memberi balasan baik
kepada perbuatan kebaikan dan memberi hukuman kepada pembuat kejahatan.
Keadilan demikian, ia menjelaskan lebih lanjut, tidak bisa mencakup pemberian
sesuatu kepada orang yang tidak behak menerimanya dan menahan sesuatu dari
orang yang berhak memilikinya. (Harun Nasution, 1987: 79)
c. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, maka rasio tidak dapat menerima
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Muhammad Abduh, yang memberi
kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan
sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini.
Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti dipahami sesuai sifat Allah
yang “berbeda dengan makhluk”
(Harun Nasution, 1987: 80)
d. Melihat Tuhan
Karena Tuhan bersifat rohani dan tidak jasmani, maka menurut akal, Tuhan
tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dalam Risalah, Muhammad Abduh tidak
menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat
oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak. Ia hanya menyebut
bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatu pun dari
makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat
digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan
dianugerahkan Tuhan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat. Tetapi dalam
Hasyiah ia jelaskan bahwa Tuhan akan dilihat kelak dengan mata kepala, tetapi
dengan suatu daya yang ada pada manusia atau pun daya baru yang akan diciptakan
dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya. Jelas kiranya bahwa Muhammad
berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. (Harun Nasution, 1987: 80)
e. Firman Tuhan
Permasalahan yang timbul dalam hal ini ialah apakah firman Tuhan
diciptakan atau tidak. Kalau firman adalah sifat maka ia mesti kekal dan tak
diciptakan. Tetapi dalam pada itu firman tersusun dari kata-kata, maka ia harus
dicipatakan dan bisa kekal. Bagi Muhammad Abduh, firman atau sabda, sebagaimana
umum diartikan, tidaklah bisa menjadi sifat Tuhan. Firman tidak bisa lain
artinya daripada kata-kata yang diucapkan. Firman, dengan demikian, adalah
rahmat dan bimbingan Tuhan dan sumbernya adalah kasih Tuhan. Dalam arti ini,
firman tidaklah juga bisa menjadi sifat Tuhan, karena firman hanyalah akibat
dari kasih Tuhan. Dengan kata lain Al-qur’an menurutnya adalah diciptakan sama
dengan paham mu’tazilah. (Harun
Nasution, 1987: 81)
7.
Perbuatan Tuhan Terhadap Manusia
a. Kewajiban Berbuat Baik
Karena Muhammad Abduh berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang bersifat
wajib ia sepaham dengan Mu'tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia. Pendapatnya ini dapat dibaca dalam
bukunya Hasyiah ‘ala Syarh Al-Aqa’id Al-Adudiah. Tetapi wajib di sini, demikian
ia jelaskan, bukan berarti wajib dalam istilah ulama fikih, yaitu yang ada
kaitannya dengan upah dan hukuman. Lebih lanjut ia tegaskan bahwa jika kaum
Mu'tazilah mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan
manusia, maka pendapat mereka adalah salah. Karena dengan demikian mereka
meletakan Tuhan di bawah hukum yang tak boleh ia langgar. (Harun Nasution, 1987: 85)
Dalam pendapat Muhammad Abduh, kewajiban Tuhan bersumber pada sifat
kesempurnaan-NYa; kewajiban ini ia letakkan sendiri pada diri-Nya dengan
kemauan dan pilihan-Nya sendiri. Kewajiban itu adalah konsekuensi logis dari
paham sunan Allah. (Harun
Nasution, 1987: 85)
Pemikiran tentang kewajiban tuhan berbuat baik kepada manusia, membawa
kepada masalah beban diluar kemampuan manusia. Konklusi logisnya ialah bahwa
kalau Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia, maka tuhan tidak mungkin memberi
beban diluar kemampuan manusia. Sia-sialah Tuhan meletakan beban yang tak dapat
dipikul manusia atas dirinya. Maha Suci Tuhan dari perbuatan sia-sia. (Harun Nasution, 1987: 86)
b. Pengiriman Rasul
Kaum Mu'tazilah dan Maturidiah memang berpendapat bahwa wajib bagi Tuhan
manusia mengirim rasul ke masyarakat manusia. Muhammad Abduh juga mempunyai
pendapat yang serupa. Tak dapat dibayangkan, demikian ia tulis, bahwa Tuhan
meletakkan beban-beban pada diri manusia tanpa memberitahukan kepada mereka
melalui pengiriman rasul-rasul. Tuhan mesti mengirimkan rasul-rasul untuk
menyampaikan kepada manusia bahwa Tuhan telah meletakkan kewajiban-kewajiban
bagi mereka. Argument lain yang ia majukan ialah, karena kewajiban pada
dasarnya adalah wajib, manusia wajib mengetahui kewajiban-kewajiban itu dan
pengiriman rasul dengan demikian adalah wajib pula. (Harun Nasution, 1987: 87-88)
c. Janji dan Ancaman
Suatu perbuatan lain dari Tuhan adalah menepati janji dan ancaman-Nya. Sama
dengan Mu'tazilah, Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa janji dan ancaman
Tuhan mesti terjadi. Jadi, wajib bagi Tuhan menepati janji dan ancaman-Nya. Tidak
melaksanakan janji dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan
keamauan Tuhan. (Harun
Nasution, 1987: 88)
8. Konsep Iman
Iman erat sekali hubungannya dengan akal dan wahyu. Imam yang didasarkan
pada wahyu disebut tasdiq, yaitu menerima sebagai benar apa yang didengar. Iman
yang didasarkan pada akal disebut ma’rifah, mengetahui benar apa yang diyakini.
Tasdiq berdasarkan pada pemberitaan, sedang ma’rifah berdasarkan pada
pengetahuan mendalam. (Harun
Nasution, 1987: 89)
Sebagai telah dilihat, Muhammad Abduh memberikan kedudukan tinggi kepada
akal dan oleh karena ia tidak menggambarkan iman sebagai tasdiq. Baginya iman
adalah ‘ilm (pengetahuan), i’tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan). Dalam
Tafsir Al-Manar ia jelaskan bahwa iman adalah pengetahuan sebenarnya yang
diperoleh oleh akal melalui argument-argumen kuat dan membawa jiwa seseorang
untuk tunduk dan menyerah. (Harun
Nasution, 1987: 89)
Sesuai dengan pemahamannya bahwa manusia terdiri atas golongan khawas,
dan golongan awam, dalam pandangannya ada dua bentuk iman, imam orang khawas
dan iman orang awam. Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa menurut Muhammad
Abduh hanya kaum khawas yang mempunyai kesanggupan untuk mengetahui Tuhan dan
alam gaib. Kaum awam menurut pendapatnya tidak mempunyai kesanggupan untuk itu
dan harus bergantung kepada wahyu dan penjelasan dari kaum khawas. Oleh karena
itu, iman bagi orang awam tidaklah bisa ma’rifah, tetapi adalah tasdiq. Iman
orang khawas disebut iman haqiqi, iman sebenarnya, dan iman orang awam disebut
iman taqlidi, iman tradisional yang diterima turun-temurun dari nenek moyang. (Harun Nasution, 1987: 90)
Orang yang mempunyai iman haqiqi berbuat baik, karena ia tahu bahwa
perbuatan itu adalah baik dan menjauhi perbuatan jahat, karena ia tahu bahwa
perbuatan jahat membawa akibat-akibat buruk. Iman mereka tidaklah merupakan
iman yang diterima begitu saja untuk menghormati orang tua dan leluhur. Iman
haqiqi tidak terdiri atas pengetahuan saja tetapi juga atas amal, karena iman
haqiqi mendorong kepada amal.
(Harun Nasution, 1987: 90)
Konsep iman yang dimajukan Muhammad Abduh di atas adalah sejalan dengan
konsep iman Mu'tazilah yang erat mengaitkannya dengan amal. Bagi kaum
Mu'tazilah orang yang berbuat dosa besar tidak bisa disebut mu’min tetapi hanya
muslim. Perbuatannya tidak menggambarkan iman. (Harun Nasution, 1987: 90-91)
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun,
MUHAMMAD ABDUH dan TEOLOGI RASIONAL MU’TAZILAH. Cet-1, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 1987.
Rozak Abdul,
Anwar Rosihin, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, dan PTAIS. Cet. 1, Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar