Translate

Jumat, 03 Mei 2013

PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD ABDUH


PENDAHULUAN

Dalam sejarah pembaharuan Islam Muhammad Abduh adalah salah seorang pemimpin yang penting. Pemikirannya meninggalkan pengaruh, tidak hanya di tanah airnya Mesir dan dunia Arab lainnya di Timur Tengah, tetapi juga di dunia Islam lain, termasuk Indonesia di Asia Tenggara. (Harun Nasution, 1987: 1)
Dalam masa hidupnya, Muhammad Abduh telah menulis beberapa bukum yang termasyhur diantaranya adalah Risalah Al-Tawhid. Risalah Al-Tawhid sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh B. Michel dan Mustafa Abd Al-Raziq dan ke dalam bahasa Inggris oleh Ishaq dan Kenneth. (Harun Nasution, 1987: 2)
Menurut Adams, ajaran-ajaran teologi Muhammad Abduh termasuk dalam teologi Ahlussunah. Dan pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan teologi yang pada umumnya diterima. Dalam pendapat Horten, Muhammad Abduh dalam banyak hal mengikuti ahlussunah secara ekstrim. Macdonald berpendapat bahwa Muhammad Abduh menampakkan diri sebagai Maturidi, tanpa menyebut-nyebut nama Al-Maturidi. Hourani melihat teologi Muhammad Abduh mempunyai corak ekletik yang di dalamnya terdapat pengaruh Ahlussunah, terutama Al-Ghazali dan Al-Maturidi, serta pengaruh Mu’tazilah. Michel dan Abd Al-Raziq dalam hal sifat-sifat Tuhan menilai Muhammad Abduh sebagai pengikut Asy’ari dan dalam hal pempelaannya yang kuat terhadap kebebasan memberi kritik, sebagai seorang Mu’tazilah modern. Jomier melihat adanya pendapat-pendapat Mu’tazilah dalam pemikiran Muhammad Abduh. Usman Amin, Gardet dan Anawati, Caspar, dan Kerr sependapat bahwa kebahagiaan pemikiran Muhammad Abduh bercorak Mu’tazilah. Sulaiman Dunia dari Universitas Al-Azhar dengan berpegang pada buku Muhammad Abduh Hashiah ala Sharh Al-Dawwani lingkungan Al-Aqaid Al-Adudiah, yang kurang mendapat perhatian dari pengarang-pengarang lain, menilai pemuka pembaharuan Mesir ini lebih tinggi dalam memberi kedudukan kepada akal daripada kaum Mu’tazilah. (Harun Nasution, 1987: 3-4)
Timbul pertanyaan, betulkah ia masuk Ahlussunnah Asy’ari atau Ahlusunnah Maturidi ? dan karena di antara pendapat-pendapatnya ada yang sejalan dengan paham-paham Mu’tazilah, betulkah teologinya  bercorak Mu’tazilah ? Atau, karena ia dikatakan mengeluarkan pendapat-pendapat Ahlusunnah di samping penapat-pendapat Mu’tazilah, apakah teologinya mempunyai corak yang berdiri sendiri, berbeda dari teologi Ahlusunnah dan dari teologi Mu’tazilah?. (Harun Nasution, 1987: 4)
kalau teologinya adalah teologi Asy’ari atau Maturidi, maka pemikiran pembaharuannya akan banyak dipengaruhi  oleh kecenderungan kedua aliran ini untuk mengambil arti harfiah dari teks Al-Qur’an dan hadis dan oleh paham Kasb Asy-ari serta paham fi’l Bazdawi yang dekat menyerupai paham jabariah. Teologi Muhammad Abduh akan bercorak tradisional. Dalam teologi yang demikian manusia lebih banyak bersifat pasif, yang tidak sejalan dengan dinamika yang diperlukan pembaharuan dan perubahan dari yang lama kepada yang baru. (Harun Nasution, 1987: 4)
Kalau teologinya adalah teologi Mu’tazilah, pemikiran pembaharuannya akan mempunyai ruang gerak yang lebih luas di bawah sikap rasional dan paham kebebasan manusia dalam batas-batas tertentu, yang dalam istilah Arab dikenal dengan nama qadariah. Pemikiran-pemikiran pembaharuannya, dengan demikian, akan bercoarak dinamis dan akan mempunyai arti bagi kemajuan umat Islam di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (Harun Nasution, 1987: 5)
Untuk mengetahui corak sebenarnya dari teologi Muhammad Abduh tidak bisa berpegang hanya pada Risalah Al-Tawhid. Tetapi didalam buku “Hasyiah ala Sharh Al-Dawwani li Al-Aqaid Al-Adudiah”, yang ia karang di tahun 1876, ia memasuki pertentangan-pertentangan itu dengan mengunjukkan pendapat dan sikapnya. Kalau dalam Risalah ia bersikap netral, di dalam Hasyiah ia memihak. Buku ini akan banyak membantu usaha untuk mengetahui corak teologi Muhammad Muhammad Abduh yang sebenarnya. Antara Risalah dan Hasyiah tidak terdapat pertentangan. Dalam buku-buku di ataslah, di samping karangan-karangannya yang lain, akan dicoba meneliti dan mengungkapkan teologi Muhammad Abduh yang sebenarnya. (Harun Nasution, 1987: 5-6)




1.     Riwayat Hidup
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1265 H yang pertepatan dengan tahun 1849 M di salah satu desa di daerah ini. Setelah keadaan politik agak tenang, abduh Khairullah kembali ke Mahallat Nasr, kampung halamannya semula. Di sinilah Muhammad Abduh berkembang menjadi anak remaja. (Harun Nasution, 1987: 11)
Menulis dan membaca ia pelajari di rumah. Kemudian ia menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab suci itu. Dalam masa dua tahun ia telah hafal Al-Qur’an. Pada tahun 1279 H (1863 M) ia dikirim orang tuanya ke Tanta untuk meluruskan bacaannya di Mesjid Al-Ahmadi. Dua tahun kemudian ia mulai mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di mesjid itu, tetapi karena metode pengajaran yang salah, setelah satu setengah tahun belajar, Muhammad Abduh masih belum mengerti apa-apa. Guru-guru memberikan term-term tata bahasa Arab dan hukum fikih untuk dihafal tanpa menjelaskan arti dari term-term itu. (Harun Nasution, 1987: 11)
Karena tidak puas ia meninggalkan Tanta dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat tidak akan kembali lagi belajar. Ia pun kawin pada tahun 1282 H (1866 M). tetapi empat puluh hari setelah perkawinannya, ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta. Dalam perjalanan ke kota itu ia lari dari desa Kanisah Urin, tempat tinggal dari kaum kerabat dari pihak ayahnya. Salah satu dari mereka adalah syekh Darwisy Khadr. (Harun Nasution, 1987: 11)
Syekh Darwisylah yang selalu mendorong Muhammad Abduh untuk kembali membaca buku, sungguhpun ia enggan. Tetai berkat kesabaran dan kebijaksanaan Syeikh Darwisy, akhirnya ia mau juga membaca. Atas penjelasan–penjelasan yang diberikan kerabatnya itu, ia akhirnya mengerti apa yang ia baca dan mulailah ia tertarik membaca dengan sendiri, jika ada term-term yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Syeikh Darwisy. Di antara buku-buku yang menarik perhatiannya di ketika ia adalah buku-buku tasawuf. (Harun Nasution, 1987: 11-12)
Setelah mengalami perubahan mental terhadap pelajaran, pada tahun 1282 H (1866 M) ia kembali ke Mesjid Al-Ahmadi di Tanta. Ia telah mengerti yang diberikan guru dan apa yang dibacanya sendiri. Dan apa yang dipahaminya itu ia sampaikan kepada teman-temannya sepelajaran, sehingga ia akhirnya menjadi tempat mereka bertanya. Beberapa bulan kemudian ia pergi ke Cairo untuk meneruskan pelajaran di Al-Azhar. (Harun Nasution, 1987: 12)
Metode yang dipakai di sana, sama dengan yang di Mesjid Al-Ahmadi di Tanta, masih tetap metode menghafal. Kurikulum yang diberikan hanya mencakup ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Demikianlah Al-Azhar yang dilihat Muhammad Abduh, kata Ahmad Amin. Al-Azhar tidak dikenal pada dunia, segala yang berlawanan dengan kebiasaan dianggap kekafiran. Membaca buku-buku geografi, ilmu alam atau falsafah adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah. (Harun Nasution, 1987: 12)
Tidak mengherankan kalau Muhammad Abduh mencari ilmu-ilmu yang disebut Syeikh Dawisy di luar Al-Azhar. Ilmu-ilmu itu ia jumpai pada seorang ulama bernama Al-Ayeikh Hasan Al-Tawil, yang tahu falsafah, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik. Tetapi pelajaran yang diberikan Syeikh itu kurang memuaskan bagi Muhammad Abduh. Pelajaran yang diterimanya di Al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya dan ia lebih suka membaca kitab yang dipilihnya di perpustakaan Al-Azhar. Ia tidak tetap mengikuti kuliah dan kalaupun hadir ia membaca buku yang dibawahnya dari rumah. (Harun Nasution, 1987: 12)
Kepuasan mempelajari falsafah, matematika, teologi dan sebagainya ia peroleh dari Jamaludin Al-Afghani yang datang ke Mesir pada penutup tahun 1286 H (1870 M). ia ajak teman-temannya turut belajar pada pemimpin pembaharuan itu dan sebagai dijelaskan  Muhammad Abduh sendiri, mereka mendapat tantangan dari para ulama dan mahasiswa Al-Azhar. Didalam teologi yang menarik perhatian Muhammad Abduh adalah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dan muncullah tuduhan bahwa ia ingin menghidupkan kembali aliran ini. Atas tuduhan itu ia dipanggil menghadap Syeikh ‘Alaisy, salah satu ulama Azhar yang menentang paham-paham Mu'tazilah. Ketika ditanya apakah benar ia memilih aliran Mu'tazilah dan meninggalkan aliran Asy’ariah ia menjawab, “Jika aku meninggalkan taklid kepada Asy’ari, mengapa aku mesti taklid kepada Mu'tazilah. Aku tidak mau taklid kepada siapa pun. Yang kuutamakan adalah argumen yang kuat. (Harun Nasution, 1987: 13-14)
Bahwa ia lebih condong ke paham-paham Mu'tazilah dari pada pemikiran-pemikiran Asy’ari, itu kelihatannya benar. Di zaman inilah ia mengarang bukunya “Hasyiah ‘Ala Syarh Al ‘Aqid Al-Adudiah yang mengandung komentarnya terhadap paham-paham Al-Asy ari. Komentar itu menggambarkan pemikiran yang sama dengan pemikiran Mu'tazilah. Karangannya itu di cetak buat pertama kali oleh Al-Matba’ah Al-Kyariah di Cairo pada tahun 1322 H atau 1905 M. pada tahun 1958 buku itu di terbitkan kembali, dengan diberi kata pengantar oleh Syeikh Sulaiman Dunia dari Al-Azhar, Cairo. Judulnya adalah Muhammad Abduh Baim Al-Falasifah Wa Al-Kalamiyyin. (Harun Nasution, 1987: 14)
Pada mulanya ia bermazhab Maliki, tetapi di Al-Azhar ia mempelajari mazhab Hanafi dan dalam ujiannya ia diuji dalam mazhab tersebut akhir ini. Ia menghargai semua mazhab, tetapi tidak mau terikat pada salah satu daripadanya. Mazhab menurut pendapatnya adalah jalan yang ditempuh ulama masa lampau dalam memahami Al-Quran dan Hadis. Mengikuti mazhab ia artikan mengikuti para imam dalam berpegang teguh pada dua sumber ajaran Islam, Al-Quran dan Hadis. Membuat pendapat imam sesuatu yang bersifat absolute adalah bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Islam ada dua macam hukum. Pertama, hukum bersifat absolut (qat’iah) yang teksnya terdapat dalam Al-Quran dan perinciannya dijelaskan oleh Hadis. Di dalam hal ini tidak ada ijtihad. Kedua hukum yang tidak berdasar pada teks yang bersifat absolute (qat’iah) dan tidak pula pada konsensus ulama (ijma). Inilah yang menjadi lapangan ijtihad. (Harun Nasution, 1987: 25-26)

2.     Filsafat Wujud
Dalam usaha untuk mengetahui corak teologi Muhammad Abduh yang sebenarnya, perlulah terlebih dahulu diketahui falsafah wujudnya. Falsafah wujud mengungkapkan kedudukan akal dalam pemikiran seseorang. Dalam tulisan-tulisannya Muhammad Abduh memang banyak memakai kata akal. Dan dalam teologi akal mempunyai peranan penting. (Harun Nasution, 1987: 28)
Teologi dalam definisi Muhammad Abduh adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan soal kenabian. Definisi ini sebenarnya kurang lengkap. Alam ini adalah cipataan Tuhan, dan oleh karena itu, teologi di samping hal-hal di atas, juga membahas hubungan Tuhanda makhluk-Nya.
(Harun Nasution, 1987: 28)
Alam ini dalam pendapat Muhammad Abduh adalah alam wujud. Wujud ia bagi ke dalam tiga kategori, wujud yang pada esensinya mesti ada  (wajib lidzatih), wujud yang pada esensinya tidak mungkin ada (mustahil lidzatih) dan wujud yang pada esensinya mungkin ada (mumkin lidzatih). Yang pada esensinya mesti ada, ada dengan sendirinya; yang ada esensinya tidak mungkin ada, dengan sendirinya tidak ada, dan yang pada esensinya mungkin ada, tidak dengan sendirinya ada dan pula tidak dengan sendirinya tidak ada. Yang dimaksud Muhammad Abduh ia bahwa untuk ada dan tidak adanya itu diperlukan sebab. (Harun Nasution, 1987: 28)
Wujud dalam pemikiran Muhammad Abduh tersusun dari Khalik dan makhluk, dari pencipta dan yang diciptakan. Semua yang ada dalam wujud ini selain Tuhan adalah makhluk –Nya. (Harun Nasution, 1987: 28)                                     
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah disimpulkan bahwa alam ini bagi Muhammad Abduh adalah alam abstrak dan alam nyata. Yang terbagi dua lagi, alam makhluk tak bernyawa dan alam makhluk hidup. Alam makhluk hidup tersusun dari alam tumbuh-tumbuhan yang mempunyai dua hubungan dengan Tuhan, penciptaan dan penerimaan hayat; alam hewan yang di samping penciptaan dan hayat, juga penerima intuisi dari Tuhan, alam manusia yang di samping ketiga di atas, menerima wahyu dari Tuhan. (Harun Nasution, 1987: 41)                                     
Alam manusia terdiri dari dua golongan khawas dan awam. Sungguhpun kedua golongan ini diberi Tuhan akal, hanya akal kaum khawaslah yang dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan alam abstrak. Oleh karena itu, di antara semua makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia sendiri, hanya kaum khawas sajalah yang memiliki hubungan dua arah dengan Tuhan, akal membentuk hubungan menaik dari alam ke Tuhan dan wahyu hubungan menurun dari Tuhan kea lam. Dengan mempergunakan akalnya, kaum khawas sanggup memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan alam abstrak. Wahyu yang di bawa para nabi memperkuat pengetahuan ini dan di samping itu juga membawa informasi tentang hal-hal yang tak dapat dicapai oleh kaum khawas. . (Harun Nasution, 1987: 41)                                     
Akal kaum awam hanya sanggup menangkap wahyu yang di turunkan Tuhan. Dan tidak mampu untuk mengetahui alam gaib. Wahyulah yang memberi pengetahuan alam gain. Wahyulah yang memberi pengetahuan yang diperlukan kaum awam tentang alam gaib. . (Harun Nasution, 1987: 41)                                      
Mati tidak berarti berakhirnya wujud manusia, karena manusia tersusun dari unsur tubuh dan unsur jiwa. Setelah jiwa meninggalkan badan, manusia akan terus mempunyai wujud, sungguhpun dalam bentuk lain. Wujudnya akan berlangsung terus di dalam alam gaib. Dengan kata lain wujud manusia akan berpindah kealam gaib, sesudah wujudnya di alam nyata ini berakhir. . (Harun Nasution, 1987: 42)                                     
Dua kata kunci penting dalam falsafah wujud Muhammad Abduh adalah akal dan wahyu. Akal kaum khawas berusaha mengadakan kontak intelektual dengan Tuhan dan wahyu turun untuk memperkuat apa yang telah diketahui tentang alam gaib dan untuk memberi informasi tentang yang tak diketahui akal tentang alam gaib itu. Kedua kata kunci  ini akan dibahas lebih mendalam dalam kedua bab berikut. (Harun Nasution, 1987: 42)      
                              
3.     Kekuatan Akal
Penjelasan yang penting dari Muhammad Abduh tentang kekuatan akal adalah sebagai berikut :
a.      Mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya
b.     Mengetahui adanya hidup di akhirat
c.      Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat
d.     Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan
e.      Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat
f.      Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
(Harun Nasution, 1987: 53)                                     
Dalam gambaran di atas tidak kelihatan adanya fungsi wahyu. Akal, menurut Muhammad Abduh, dapat mengetahui dua dasar pokok dalam agama, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Pada dua kewajiban pokok inilah, didasarkan kewajiban-kewajiban lain dari manusia terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat, seperti kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kewajiban menjauhi perbuatan yang merusak dirinya sendiri seperti meminum-minuman keras, narkotika dan sebagainya, kewajiban menolong anggota masyarakat dengan mengeluarkan zakat dan sebagainya. (Harun Nasution, 1987: 54)
Pembahasan kekuatan akal dalam mengetahui kedua dasar agama, Tuhan dan kebaikan serta kejahatan tersebut di atas, sebenarnya telah dilakukan oleh alian-aliran teologi yang timbul di zaman keemasan Islam. Kedua masalah pokok itu dipecah menjadi empat, yaitu :
a.      Mengetahui Tuhan
b.     Mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
c.      Mengetahui kebaikan dan kejahatan
d.     Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. (Harun Nasution, 1987: 54)
Terjadi polemik antara kaum Mu'tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah dalam hal ini. Menurut Mu'tazilah keempat masalah pokok keagamaan itu dapat diketahui akal. Menurut Asy’ariah yang dapat diketahui akal hanya butir satu, sedang untuk mengetahui ketiga butir lainnya diperlukan wahyu. Kaum Maturidiah terpecah menjadi dua, Maturridiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Dalam pendapat Maturidiah Bukhara hanya dua butir, yaitu pertama dan ketiga yang dapat diketahui akal, sedang kewajiban-kewajiban yang tersebut dalam butir dua dan empat diketahi manusia hanya melalui wahyu. Maturidiah Samarkand berpendapat hanya satu yang tak dapat diketahui akal yaitu butir empat. Untuk itu diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui akal sebelum turunnya wahyu. (Harun Nasution, 1987: 55)
Dari gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keempat masalah pokok keagamaan yang dipersoalan, kaum Mu'tazilah dan Muhammad Abduh mempunyai persamaan Mu'tazilah dan Muhammad Abduh berpendapat bahwa dalam keempat masalah pokok itu, wahyu tak mempunyai fungsi. Dalam paham Maturidiah Samarkand wahyu mempunyai menjauhi perbuatan jahat. Ketiga masalah lainnya dapat diketahui akal. Dalam paham Maturidiah Bukhara kewajiban dapat diketahui manusia halnya melalui wahyu. Adapun pengetahuan, itu dapat diketahui akal tanpa bantuan wahyu. Asy’ariah melihat hanya satu dari keempat masalah pokok keagamaan itu yang dapat diketahui akal, yaitu adanya Tuhan. Kebaikan dan kejahatan, kewajiban berterimakasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu.
(Harun Nasution, 1987: 55)
Dapat diambil kesimpulan bahwa dasar teologi Muhammad Abduh berbeda sekali dengan teologi Maturidiah Samarkand dan Bukhara, apalagi  dengan teologi Asy’ariah. Antara teologi dan teologi Mu'tazilah terdapat persamaan, sama-sama memberi kekuatan yang tinggi kepada akal dan sama-sama berpendapat bahwa wahyu tak mempunyai fungsi dalam keempat masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan. Dalam hal itu perlu dicatat bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal dari pada Mu'tazilah sendiri.
(Harun Nasution, 1987: 57)

4.     Fungsi Wahyu
Dalam pendapat Muhammad Abduh wahyu mempunyai dua fungsi pokok. Fungsi pokok pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh mati. Fungsi kedua dari wahyu mempunyai kaitan yang erat dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Untuk terwujudnya hidup sosial damai dan rukun, anggotanya mesti membina hubungan antara sesama mereka atas dasar cinta mencintai. Tetapi sayangnya kebutuhan manusia boleh dikatakan tidak terbatas dan dengan demikian, konflik senantiasa terdapat dalam masyarakat manusia. Untuk mengatur masyarakat manusia dengan baik maka nabi-nabi dikirim Tuhan ke permukaan bumi. (Harun Nasution, 1987: 59-60)
Dengan demikian wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan hidup manusia di sana, untuk mengetahui sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya di hidup kedua nanti, untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat, dan sebagainya. Sungguhpun semua itu sukar bagi akal untuk memahaminya, tetapi akal dapat menerima adanya hal-hal itu. (Harun Nasution, 1987: 60)
Wahyu, selanjutnya menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik manusia untuk hidup dengan damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat. Wahyu selanjutnya membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menempati janji dan sebaginya. (Harun Nasution, 1987: 60-61)
Fungsi lain dari wahyu, dalam pendapat Muhammad Abduh, adalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sacral dan absolute yang terdapat dalam wahyu. Sifat sacral dan absolutlah yang membuat orang mau tunduk kepada sesuatu. (Harun Nasution, 1987: 61)
Perincian mengenai fungsi wahyu tersebut di atas banyak persamaannya dengan pendapat Mu'tazilah mengenai hal ini. Dalam pada itu terdapat juga beberapa perbedaan. Kalau bagi Mu'tazilah wahyu tidak  mempunyai fungsi dalam mengetahui sifat-sifat Tuhan, bagi Muhammad Abduh wahyu diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang sifat-sifat itu. Kalau bagi Muhammad Abduh wahyu diperlukan untuk pengaturan kehidupan sosial manusia, Mu'tazilah tidak menyinggung hal itu. Bagi mereka akal kelihatannya cukup kuat untuk mengatur hidup kemasyarakatan manusia tanpa bantuan wahyu. Kalau bagi Mu'tazilah wahyu mempunyai fungsi mengingatkan manusia kepada kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan, bagi Muhammad Abduh fungsi mengingatkan itu adalah terhadap kebesaran Tuhan. (Harun Nasution, 1987: 62)
.
5.     Paham Kebebasan Manusia dan (Fatalisme)
Sebagai salah satu pemikir dan pemimpin penting dari pembaharuan dalam Islam, pendapat Muhammad Abduh tentang jabariah dan qadariah ini penting untuk diketahui. Apakah ia mempunyai paham jabariah sehingga manusia dalam pendapatnya bersifat pasif dan menunggu takdir saja ? Ataukah ia mempunyai paham qadariah sehingga manusia menurut keyakinannya bersifat dinamis dan aktif dalam hidup di dunia ini ?. (Harun Nasution, 1987: 64)
Manusia diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya dan dua diantaranya berpikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya. Jadi manusia selain dari mempunyai daya pikir, juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya dia bukan manusia lagi, tetapi menjadi makhluk lain. (Harun Nasution, 1987: 65)
Perlu di tegaskan bahwa dalam soal kebebasan kemauan serta perbuatan dan fatalisme ini terdapat tiga hal yang saling berkaitan : perbuatan, kemauan untuk berbuat dan daya untuk mewujudkan perbuatan itu. Pertanyaan yang timbul adalah : Apakah ketiga hal itu terletak pada Tuhan ataukah ketiganya terletak pada manusia, ataukah sebagian terletak pada Tuhan dan sebagian pada manusia? Jika kemauan dan daya adalah kepunyaan Tuhan, dan ini adalah jabariah, fatalisme. Jika kehendak dan kemauan adalah dari manusia maka perbuatan adalah perbuatan manusia dan ini adalah qadariah, paham kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Jika kemauan dan daya sama-sama dari Tuhan dan manusia, maka perbuatan adalah perbuatan Tuhan pada hakikatnya dan perbuatan manusia dalam arti kiasan. (Harun Nasution, 1987: 70)
Bahwa Muhammad Abduh mengambil posisi kedua adalah jelas. Baginya kemauan, daya dan perbuatan adalah dari manusia. Manusia, dalam pendapatnya, diciptakan dengan mempunyai kemauan memilih dan mempunyai daya untuk mewujudkan kemauan itu. Karena kemauan dan daya adalah berasal dari manusia, maka perbuatan pun adalah perbuatan manusia. Agama, akal, panca indra dan intuisi, demikian ia tulis, sepakat mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah pada hakikatnya perbuatan manusia sendiri. (Harun Nasution, 1987: 70)

6.     Sifat-sifat Tuhan
Dalam Risalah Al-Tawhid ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah sifat itu temasuk esensi Tuhan ataukah lain dari esensi Tuhan, ia jelas bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi sungguhpuhn demikian ia kelihatanya lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun ia tidak dengan tegas mengatakan demikian. (Harun Nasution, 1987: 71)
Masalah itu ia bahas dalam Hasyiah ‘ala Syarh Al-Dawwawili Al-Aqa’id Al-Adudiah. Di situ ia jelaskan bahwa sifat menurut pendapat para filosof Islam, adalah esensi tuhan. Yang mereka maksud ialah bahwa esensi, sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, merupakan sumber dari akibat yang timbul dari sifat. Dengan demikian, esensi dan sifat mengetahui adalah satu. Begitu pula halnya dengan sifat berkuasa. Akibat yang timbul dari kekuasaan ialah melakukan sesuatu. Sebaliknya kekuasaan adalah sumber dari pelaksanaan perbuatan. Karena esensi, sebagai sumber dari segala yang ada, pada hakikatnya adalah sumber dari pelaksanaan perbuatan, esensi dan sifat berkuasa ada pula satu. Oleh sebab itu, esensi, ditinjau dari segi tercapainya pengetahuan tentang sesuatu, adalah pengetahuian dan ditinjau dari segi terlaksananya perbuatan adalah kekuasaan. Dengan demikian dapatlah disebut bahwa sifat adalah esensi, dan ini membawa kepada pniadaan sifat dan penegasan adanya akibat saja. (Harun Nasution, 1987: 71-72)
Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa dikatakan Tuhan, tidak pula “bukan Tuhan”, tidak pula “lain dari Tuhan,” dan tidak pula “bukan lain dari Tuhan.” Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada artinya kecuali diberi interprestasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah keadaan mental, dan pada hakikatnya tidak mempunyai wujud. Dalam pengertian Muhammad Abduh, Al-Asy’ari, berlainan dengan pengikut-pengikutnya, menerima konsep peniadaan sifat-sifat Tuhan dan sebagai kaum Mu'tazilah, memandang sifat hanya sebagai keadaan mental. (Harun Nasution, 1987: 73-74)
Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa Muhammad Abduh cenderung kepada konsep peniadaan sifat Tuhan, sungguhpun dalam Risalah Al-Tawhid ia berbicara tentang sifat-sifat Tuhan. Perlu ditegaskan bahwa di dalam Risalah ia tidak membahas apakah sifat esensi atau lain dari esensi Tuhan dan juga tidak membicarakan apakah sifat kekal atau tidak kekal. Dengan lain kata, di dalamnya ia tidak menjelaskan pendapatnya tentang sifat. Dengan demikian tidaklah terdapat pertentangan antara pendapat yang ditulisnya dalam Hasyiah dan tulisannya tentang sifat dalam Risalah. Karena dia tidak berpegang pada mutlaknya kehendak dan kekuasaan Tuhan, ia dapat memasukkan teori peniadaan Tuhan dalam teologinya. (Harun Nasution, 1987: 74)
a.        Kehendak Mutlak Allah
Dalam pemikiran Muhammad Abduh, karena ia yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, kehendak Tuhan tidak bersifat mutlak-Nya dengan memberi manusia secara alami kebebasan dan kesanggupan, yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Memberi manusia kemauan dan daya untuk berbuat adalah salah satu sunnah Allah. (Harun Nasution, 1987: 75)
Iman dan kufur tidak mempunyai pengaruh terhadap akibat sunnah itu. Yang dimaksud Muhammad Abduh adalah bahwa keadaan seseorang menjadi mu’min atau kafir tidak merubah sunnah Allah itu. Kalau orang mu’min tidak mengikuti sunnah kemenangan ia akan menghadapi kekalahan, dan sebaliknya kalau orang kafir mengikuti sunnah tersebut ia akan memperoleh kemenangan. Sunnah itu, kata Muhammad Abduh. Bahkan tidak mengecualikan nabi-nabi. Alam juga mengikuti sunnah Allah. Ia menyebut sunnah untuk turunya hujan, dan sunnah mengetani daya tarik bumi. (Harun Nasution, 1987: 76)
Hubungan antara kehendak Tuhan dengan kehendak manusia dalam pendapat Muhammad Abduh adalah sebagai berikut : sunah sebagai ciptaan Tuhan adalah kehendak Tuhan, dan manusia, dalam mengikuti sunnah Allah itu, pada hakikatnya mengikuti kehendak Ilahi. Oleh karena itu berpendapat bahwa dalam melaksanakan kebebasannya, manusia tidak menentang kehendak Tuhan; kehendak manusia senantiasa menggambarkan satu segi dari kehendak Tuhan.(Harun Nasution, 1987: 78)
b.     Keadilan Tuhan
Keadilan, dalam pendapat Muhammad Abduh, kaitannya adalah dengan hukuman dan balasan baik, hukuman diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik terhadap perbuatan baik dengan melipatgandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Keadilan bagi Muhammad Abduh berarti Tuhan memberi balasan baik kepada perbuatan kebaikan dan memberi hukuman kepada pembuat kejahatan. Keadilan demikian, ia menjelaskan lebih lanjut, tidak bisa mencakup pemberian sesuatu kepada orang yang tidak behak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya. (Harun Nasution, 1987: 79)
c.      Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, maka rasio tidak dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Muhammad Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti dipahami sesuai sifat Allah yang “berbeda dengan makhluk” (Harun Nasution, 1987: 80)
d.     Melihat Tuhan
Karena Tuhan bersifat rohani dan tidak jasmani, maka menurut akal, Tuhan tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dalam Risalah, Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak. Ia hanya menyebut bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan Tuhan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat. Tetapi dalam Hasyiah ia jelaskan bahwa Tuhan akan dilihat kelak dengan mata kepala, tetapi dengan suatu daya yang ada pada manusia atau pun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya. Jelas kiranya bahwa Muhammad berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. (Harun Nasution, 1987: 80)
e.      Firman Tuhan
Permasalahan yang timbul dalam hal ini ialah apakah firman Tuhan diciptakan atau tidak. Kalau firman adalah sifat maka ia mesti kekal dan tak diciptakan. Tetapi dalam pada itu firman tersusun dari kata-kata, maka ia harus dicipatakan dan bisa kekal. Bagi Muhammad Abduh, firman atau sabda, sebagaimana umum diartikan, tidaklah bisa menjadi sifat Tuhan. Firman tidak bisa lain artinya daripada kata-kata yang diucapkan. Firman, dengan demikian, adalah rahmat dan bimbingan Tuhan dan sumbernya adalah kasih Tuhan. Dalam arti ini, firman tidaklah juga bisa menjadi sifat Tuhan, karena firman hanyalah akibat dari kasih Tuhan. Dengan kata lain Al-qur’an menurutnya adalah diciptakan sama dengan paham mu’tazilah. (Harun Nasution, 1987: 81)

7.     Perbuatan Tuhan Terhadap Manusia
a.     Kewajiban Berbuat Baik
Karena Muhammad Abduh berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang bersifat wajib ia sepaham dengan Mu'tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia. Pendapatnya ini dapat dibaca dalam bukunya Hasyiah ‘ala Syarh Al-Aqa’id Al-Adudiah. Tetapi wajib di sini, demikian ia jelaskan, bukan berarti wajib dalam istilah ulama fikih, yaitu yang ada kaitannya dengan upah dan hukuman. Lebih lanjut ia tegaskan bahwa jika kaum Mu'tazilah mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan manusia, maka pendapat mereka adalah salah. Karena dengan demikian mereka meletakan Tuhan di bawah hukum yang tak boleh ia langgar. (Harun Nasution, 1987: 85)
Dalam pendapat Muhammad Abduh, kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaan-NYa; kewajiban ini ia letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan pilihan-Nya sendiri. Kewajiban itu adalah konsekuensi logis dari paham sunan Allah. (Harun Nasution, 1987: 85)
Pemikiran tentang kewajiban tuhan berbuat baik kepada manusia, membawa kepada masalah beban diluar kemampuan manusia. Konklusi logisnya ialah bahwa kalau Tuhan wajib berbuat baik kepada manusia, maka tuhan tidak mungkin memberi beban diluar kemampuan manusia. Sia-sialah Tuhan meletakan beban yang tak dapat dipikul manusia atas dirinya. Maha Suci Tuhan dari perbuatan sia-sia. (Harun Nasution, 1987: 86)
b.     Pengiriman Rasul
Kaum Mu'tazilah dan Maturidiah memang berpendapat bahwa wajib bagi Tuhan manusia mengirim rasul ke masyarakat manusia. Muhammad Abduh juga mempunyai pendapat yang serupa. Tak dapat dibayangkan, demikian ia tulis, bahwa Tuhan meletakkan beban-beban pada diri manusia tanpa memberitahukan kepada mereka melalui pengiriman rasul-rasul. Tuhan mesti mengirimkan rasul-rasul untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Tuhan telah meletakkan kewajiban-kewajiban bagi mereka. Argument lain yang ia majukan ialah, karena kewajiban pada dasarnya adalah wajib, manusia wajib mengetahui kewajiban-kewajiban itu dan pengiriman rasul dengan demikian adalah wajib pula. (Harun Nasution, 1987: 87-88)
c.      Janji dan Ancaman
Suatu perbuatan lain dari Tuhan adalah menepati janji dan ancaman-Nya. Sama dengan Mu'tazilah, Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa janji dan ancaman Tuhan mesti terjadi. Jadi, wajib bagi Tuhan menepati janji dan ancaman-Nya. Tidak melaksanakan janji dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan keamauan Tuhan. (Harun Nasution, 1987: 88)

8.     Konsep Iman
Iman erat sekali hubungannya dengan akal dan wahyu. Imam yang didasarkan pada wahyu disebut tasdiq, yaitu menerima sebagai benar apa yang didengar. Iman yang didasarkan pada akal disebut ma’rifah, mengetahui benar apa yang diyakini. Tasdiq berdasarkan pada pemberitaan, sedang ma’rifah berdasarkan pada pengetahuan mendalam. (Harun Nasution, 1987: 89)
Sebagai telah dilihat, Muhammad Abduh memberikan kedudukan tinggi kepada akal dan oleh karena ia tidak menggambarkan iman sebagai tasdiq. Baginya iman adalah ‘ilm (pengetahuan), i’tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan). Dalam Tafsir Al-Manar ia jelaskan bahwa iman adalah pengetahuan sebenarnya yang diperoleh oleh akal melalui argument-argumen kuat dan membawa jiwa seseorang untuk tunduk dan menyerah. (Harun Nasution, 1987: 89)
Sesuai dengan pemahamannya bahwa manusia terdiri atas golongan khawas, dan golongan awam, dalam pandangannya ada dua bentuk iman, imam orang khawas dan iman orang awam. Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa menurut Muhammad Abduh hanya kaum khawas yang mempunyai kesanggupan untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib. Kaum awam menurut pendapatnya tidak mempunyai kesanggupan untuk itu dan harus bergantung kepada wahyu dan penjelasan dari kaum khawas. Oleh karena itu, iman bagi orang awam tidaklah bisa ma’rifah, tetapi adalah tasdiq. Iman orang khawas disebut iman haqiqi, iman sebenarnya, dan iman orang awam disebut iman taqlidi, iman tradisional yang diterima turun-temurun dari nenek moyang. (Harun Nasution, 1987: 90)
Orang yang mempunyai iman haqiqi berbuat baik, karena ia tahu bahwa perbuatan itu adalah baik dan menjauhi perbuatan jahat, karena ia tahu bahwa perbuatan jahat membawa akibat-akibat buruk. Iman mereka tidaklah merupakan iman yang diterima begitu saja untuk menghormati orang tua dan leluhur. Iman haqiqi tidak terdiri atas pengetahuan saja tetapi juga atas amal, karena iman haqiqi mendorong kepada amal. (Harun Nasution, 1987: 90)
Konsep iman yang dimajukan Muhammad Abduh di atas adalah sejalan dengan konsep iman Mu'tazilah yang erat mengaitkannya dengan amal. Bagi kaum Mu'tazilah orang yang berbuat dosa besar tidak bisa disebut mu’min tetapi hanya muslim. Perbuatannya tidak menggambarkan iman. (Harun Nasution, 1987: 90-91)




DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, MUHAMMAD ABDUH dan TEOLOGI RASIONAL MU’TAZILAH. Cet-1, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1987.
Rozak Abdul, Anwar Rosihin, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, dan PTAIS. Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar